Kamis, 11 Desember 2008

Nanomedicine: Era Baru Dunia Kesehatan

by Beritaiptek.com

Oleh Rohadi Awaludin

National Science Foundation (NSF) memprediksi bahwa pada tahun 2015, skala ekonomi nanomedicine mencapai 1 trilyun dollar AS. Berbagai negara berlomba lomba untuk menangkap peluang ini melalui kegiatan penelitian dan pengembangan. Dilaporkan bahwa saat ini telah dikembangkan ratusan jenis bahan untuk keperluan kesehatan di seluruh dunia dengan memanfaatkan nanoteknologi.

Nanomedicine merupakan aplikasi nanoteknologi di bidang kesehatan. Nanoteknologi adalah disain, karakterisasi, sintesis dan aplikasi struktur, device, dan sistem yang dikontrol pada skala nanometer untuk menghasilkan sifat atau karakter yang baru. Konsep nanoteknologi pertama kali dikemukakan oleh fisikawan Richard Feynman pada pertemuan American Physical Society pada 29 Desember 1959. Di dalam paparannya yang berjudul There's Plenty of Room at the Bottom, dia menggambarkan dunia pada level molekul, diantaranya di wilayah tersebut gaya gravitasi kurang berperan dibandingkan dengan tegangan permukaan dan gaya Van Der Waals. Pada tahun 1974 Norio Taniguchi mengemukakan istilah nanoteknologi dengan ungkapan, "Nanotechnology mainly consist of the processing, separation, consolidation and deformation of materials by one atom or molecule". Sosok nanoteknologi digambarkan dengan lebih rinci dalam kumpulan materi kuliah tentang nanoteknologi oleh K.E. Drexler pada tahun 1989.

Medical imaging

Medical imaging adalah teknik atau proses untuk mendapatkan gambar tubuh khususnya gambar dalam tubuh untuk keperluan medis. Medical imaging dilakukan diantaranya untuk mengetahui bentuk dan fungsi organ tubuh, sebaran zat tertentu dan perubahan metabolisme di dalam tubuh. Saat ini telah dimanfaatkan untuk keperluan ini adalah positron emission tomography (PET), magnetic resonance imaging (MRI), ultrasound tomography, nuclear medicine dan computed tomography (CT).

Salah satu tema penting di dalam pengembangan medical imaging adalah pengembangan contrast agent untuk meningkatkan cakupan dan kualitas hasil yang didapatkan. Di bidang ini, perkembangan disain molekul menjanjikan peluang inovasi yang luas.

Pada tahun 1970an, Tatsui Ido dari Brookhaven National Laboratory untuk pertama kali memperkenalkan senyawa analog glukosa berupa 2-fluoro-2-deoxy-D-glucose (FDG) yang ke dalamnya diikatkan radioisotop fluor-18 (18F-FDG). Fluor-18 adalah radioisotop pemancar positron dengan waktu paruh 110 menit. Pada bulan Agustus 1976 untuk pertama kalinya 18F-FDG diujicobakan kepada dua orang relawan untuk mendapatkan gambaran otak manusia berdasarkan metabolisme glukosa.

Ketika itu pencitraan masih menggunakan nuclear scanner biasa, belum menggunakan kamera PET. Saat ini, seiring dengan kemajuan kamera PET memanfaatkan coincidence detection, 18F-FDG telah menjadi andalan medical imaging di beberapa negara untuk mendeteksi kanker secara dini. Deteksi yang didasarkan pada metabolisme glukosa pada sel kanker ini dapat mengetahui kanker pada tahap awal, saat metabolisme sel kanker baru dimulai. Tingkat malignancy (kecepatan pertumbuhan) kanker pun dapat diketahui dari PET menggunakan 18F-FDG.

Medical imaging menggunakan PET menjanjikan masa depan yang luas. Berbagai macam metabolisme tubuh dan kelainan di dalamnya diharapkan dapat diperoleh gambarannya menggunaan kamera PET. Saat ini, selain 18F-FDG, ada beberapa senyawa dengan biodinamika tertentu terus dikembangkan untuk memperluas cakupan medical imaging menggunakan PET. Misalnya, senyawa bertanda 18F-Fluoromisonidazole (18FMISO) untuk hypoxic tissue visualization dan 11C-flumazenil untuk mendapatkan sebaran benzodiazepine receptor di dalam tubuh.

Drug Delivery

Salah satu tantangan besar dalam pengobatan adalah bagaimana cara mengirimkan bahan aktif menuju sasaran secara efektif, tidak menyebar ke wilayah atau bagian tubuh yang tidak diinginkan. Penyebaran ini dapat mengakibatkan efek samping pada organ atau bagian tubuh bukan sasaran. Selain itu, penyebaran ini juga merupakan pemborosan dalam penggunaan bahan aktif, utamanya bahan aktif yang sulit didapatkan. Ada estimasi bahwa pemborosan akibat penyebaran obat ke bagian yang tidak perlu ini mencapai 65 milyar dollar AS per tahun.

Pengembangan nanoteknologi diharapkan dapat membuka peluang inovasi pada drug delivery system. Beberapa inovasi yang menjanjikan telah berhasil dilahirkan. Misalnya, saat ini sedang dikembangkan senyawa dan partikel pada ukuran nanometer berbasis polimer, baik polimer alam, polimer buatan atau kombinasi keduanya. Termasuk di dalam polimer alam adalah peptida dan antibodi. Reaksi spesifik peptida dengan reseptornya atau antibodi dengan antigen telah dimanfaatkan untuk pengembangan drug delivery system.

Radiopeptida 111In-DTPA-octreotide yang dikenal dengan nama OctreoScan telah disetujui oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (Food and Drug Adminsitrasion, FDA) untuk terapi kanker. Sebagian besar sel kanker menghasilkan reseptor somatostatin. Namun sayang, somatostatin yang merupakan salah satu jenis peptida alam ini memiliki umur biologi yang pendek (2 menit), dalam waktu singkat dia akan dihancurkan oleh peptidase.

Dari penelitian tentang peptida berhasil dikembangkan beberapa jenis peptida yang memiliki sifat mirip dengan somatostatin namun tidak dihancurkan oleh tubuh dalam waktu singkat. Peptida peptida ini dinamakan analog somatostatin. Peptida octreotide merupakan salah satu peptida analog somatostatin. Peptida ini tersusun dari 8 buah asam amino yang di dalamnya memiliki disulphide bridge seperti somatostatin. Peptida ini akan bergabung secara spesifik pada reseptor somatostatin yang banyak dihasilkan oleh beberapa jenis sel kanker.

Oleh karenanya, radiopeptida ini akan bergerak di dalam tubuh dan menempel pada reseptor somatostatin yang ada di sel kanker. Setelah menempel di sel kanker, radioisotop indium-111 yang ditempelkan pada senyawa tersebut melepaskan radiasi pengion yang mematikan sel kanker tersebut.

Dalam rangka pengembangan drug delivery system, Tim peneliti dari Japan Advanced Institute of Science and Technology (JAIST) yang dikomandani oleh Nobuhiko Yui mengembangkan sebuah molekul unik yang diberi nama polyrotaxane. Polyrotaxane merupakan salah satu jenis polimer buatan yang terdiri dari sumbu, gugus melingkar yang dapat berisi muatan senyawa aktif dan gugus pengunci. Jika molekul tersebut telah sampai di organ atau bagian tubuh tujuan, ujung sumbu yang merupakan gugus pengunci dipecah oleh senyawa atau enzim tertentu, sehingga seluruh muatannya terlepas dan jatuh di tempat yang diharapkan.

Nanoteknologi juga membuka peluang pada implantable delivery system. Sistem implantasi ini lebih baik dari pada sistem injeksi yang ada selama ini. Pada sistem injeksi ada yang dinamakan first-order kinetics. Konsentrasi senyawa aktif di dalam darah naik secara cepat dan setelah itu menurun secara eksponensial. Pola seperti ini memiliki kelemahan berupa tingginya konsentrasi pada saat awal yang dapat memberikan efek samping dan menurun di bawah konsentrasi minimal dalam waktu singkat. Implantable delivery system menawarkan solusi untuk kedua masalah ini.

Pada sistem ini, pelepasan senyawa aktif dapat dilakukan secara perlahan sehingga konsentrasi senyawa aktif dapat dipertahankan dalam waktu lebih lama. Sebuah perusahaan bernama Sivida's BioSilicon mengembangkan material dengan struktur nano yang menyerupai kantong berbasis silikon. Kantong tersebut dapat digunakan untuk menyimpang senyawa aktif yang akan dilepaskan secara perlahan seiring dengan larutnya gugus yang mengandung silikon.

Terapi nanopartikel

Perkembangan nanoteknologi diharapkan memacu pengembangan metode baru dalam terapi. Misalnya, ada beberapa bentuk terapi baru dapat dimungkinkan dengan pemanfaatan nanopartikel. Sebuah tim peneliti dari Rice University berhasil melakukan ujicoba penanganan kanker menggunakan nanopartikel berukuran sekitar 120 nm untuk membunuh sel kanker. Nanopartikel tersebut berupa partikel emas yang dibungkus oleh peptida atau antibodi pada permukaannya. Setelah dimasukkan ke dalam tubuh, peptida atau antibodi tersebut akan membawa partikel emas menempel pada sel kanker.

Partikel emas dipanaskan menggunakan sinar infra merah dari luar tubuh untuk membunuh sel kanker didekatnya. Metode ini telah berhasil diujicobakan pada binatang. Metode ini hanya dapat dilakukan jika partikel emas berukuran sangat kecil sehingga dapat bergerak dengan mudah bersama sama dengan cairan tubuh, mengikuti biodinamika peptida atau antibodi.

Perkembangan nanoteknologi telah dikembangkan pula untuk menawarkan zat zat berbahaya di dalam darah. Sekelompok peneliti di University of Florida telah melaporkan keberhasilan mereka dalam memanfaatkan biocompatible microemulsions untuk keperluan ini. Microemulsion ini menggunakan polymeric surfactant dikombinasikan dengan ionic co-surfactant.

Radioimmunotherapy

Beberapa saat yang lalu, sediaan radiofarmaka untuk penanganan kanker melalui metode baru yang dinamakan radioimmunotherapy mulai disetujui penggunaanya oleh FDA. Persetujuan ini diperoleh setelah melewati masa penelitian dan pengembangan selama lebih dari 10 tahun. Radioimmunotherapy adalah metode penanganan kanker dengan memanfaatkan kombinasi antara terapi radiasi dan immunotherapy.

Terapi radiasi adalah terapi dengan memanfaatkan efek ionisasi dari radiasi sehingga dapat mematikan sel yang dikenainya. Sedangkan immunotherapy adalah terapi dengan memanfaatkan mekanisme sistem kekebalan tubuh. Ada 3 jenis immunotherapy, yaitu immune cell therapy, vaccine therapy dan antibody therapy. Pada radioimmunotherapy digunakan immunotherapy jenis terakhir, yaitu memanfaatkan reaksi spesifik antigen antibodi di dalam sel kanker. Radioisotop diikatkan pada antibodi untuk selanjutnya dimasukkan ke dalam tubuh untuk membunuh sel-sel kanker tersebut. Antibodi tersebut hanya akan terikat pada sel sel kanker karena keberadan antigennya sehingga tidak menyebar ke seluruh tubuh.

Pada Maret 2002 sebuah sediaan radiofarmaka yang diberi nama Zevalini yang merupakan antibodi bertanda radioisotop ittrium-90 telah disetujui oleh FDA untuk digunakan untuk menangani kanker, utamanya limfoma (kanker kelenjar getah bening). Persetujuan ini membuka babak baru pada penanganan kanker. Menyusul setelahnya, radiofarmaka Bexxar yang ditandai dengan radioisotop iodium-131 disetujui penggunaannya pada bulan Juni 2003.

Limfoma terjadi karena pertumbuhan sel secara tidak terkendali pada lymphocyte. Selama ini, penyakit ini ditangani dengan kemoterapi, yaitu membunuh sel kanker dengan zat kimia. Namun, zat kimia tersebut dapat menyebar ke seluruh tubuh sehingga memberikan efek samping, utamanya pada bagian tubuh yang mengalami pembelahan sel secara cepat. Penanganan ini memberikan pula dampak kepada pasien berupa mual, muntah, nyeri dan lesu. Selain itu, penanganan ini dapat menyebabkan kerontokan rambut.

Metode radioimmunotherapy menjanjikan solusi terhadap masalah masalah efek samping tersebut. Hal ini dikarenakan antibodi pembawa radioisotop "si pembunuh sel" tidak menyebar ke seluruh tubuh, namun terakumulasi di sekitar sel kanker karena antibodi tersebut bereaksi secara spesifik dengan antigennya. Sel limfoma telah diketahui menghasilkan antigen yang dinamakan CD20.

Antigen CD20 ini memiliki peran penting dalam proses pembelahan dan diferensisasi sel. Antigen CD20 ini hanya dihasilkan oleh sel-sel limfoma, sehingga sel sel lain tidak terganggu kinerjanya. Penanganan dengan anti-CD20 tidak meningkatkan resiko terhadap infeksi dan tidak mengganggu populasi sel karena sel yang rusak atau mati dapat segera diganti. Selain itu, antigen ini berada di membran sel sehingga mudah dijangkau oleh anti-CD20.

Peningkatan skala ekonomi nanomedicine dalam waktu dekat telah terlihat di depan mata. Lembaga litbang swasta dan pemerintah di berbagai negara telah berpacu untuk menangkap peluang tersebut. Pemerintah perlu memperhatikan perkembangan nanomedicine ini dalam menentukan arah litbang nasional di bidang kesehatan untuk mengoptimalkan sumber daya litbang yang terbatas.
Rohadi Awaludin,
Ketua ISTECS Pusat

0 comments: